Penguasa adalah Cerminan Rakyatnya?

Ada satu ungkapan yang sering saya dengar. Katanya, penguasa itu adalah cerminan dari rakyatnya. Jika rakyatnya baik-baik dan ganteng seperti saya, maka penguasanya juga baik-baik dan ganteng.

Ada yang percaya dengan ungkapan ini. Ada juga yang tidak. Kenyataannya, ada negeri yang dipimpin penguasa matre, dan rakyatnya pun juga matre. Ada penguasa yang diktator, dan rakyatnya pun juga egois.

Tapi ada negeri yang (konon) rakyatnya suka BBM murah, tapi penguasanya lebih suka menaikkan harga.

Setahu saya, ungkapan “Penguasa adalah Cerminan Rakyatnya” berawal dari sebuah kisah berikut ini.

Alkisah di jaman Imam Hasan Basri. Ketika itu yang berkuasa di Irak adalah gubernur Hajjaj bin Yusuf yang terkenal kejam dan lalim. Suatu ketika Imam Hasan mendengar seseorang berdoa, meminta kepada Tuhan agar Hajjaj bin Yusuf mati atau dipecat dari jabatannya.
Imam Hasan menegur orang tadi. “Mengapa Anda berdoa seperti itu? Tahukah Anda, Tuhan selalu menguasakan penguasa kepada kita sesuai dengan tingkah laku kita? Aku takut jika doa Anda dikabulkan, justru yang datang adalah penguasa yang lebih jahat dan lebih kejam dari Hajjaj”.

Tentu saja, saya tak akan membantah ulama awal sekaliber Imam Hasan Basri. Secara keimanan, ucapan beliau taken for granted buat saya. Tapi mengapa untuk kondisi kenaikan BBM ini, seakan-akan berseberangan dengan ucapan beliau? Apa karena cermin tidak selalu cermin datar? Mungkin cekung atau cembung?

Menurut saya, kita tidak boleh memaknai ucapan beliau secara harfiah, bahwa penguasa sama persis dengan sifat dan keinginan rakyatnya. Poin yang saya tangkap dari ucapan beliau adalah bagaimana cara efektif dalam memulai perbaikan. Dalam ucapan Imam Hasan tadi, perbaikan harus dimulai dari bawah, bukan dari atas.

Ketika kita bisa menjadi pribadi yang jujur. maka akan mudah bagi kita menciptakan keluarga dengan tradisi kejujuran. Begitu juga dengan pribadi yang peduli, akan mudah membentuk keluarga yang peduli.

Jika minimal ada 10 keluarga dengan tradisi jujur dan peduli, maka dengan mudah akan tercipta kampung yang orang-orangya bertradisi jujur dan peduli. Demikian seterusnya sampai level negara.

Artinya meneriakkan revolusi tanpa persiapan generasi pengganti yang lebih baik, sama saja dengan meneriakkan kerusakan. Andai presidennya baik, tapi bawahannya hancur, negeri ini tetap tak akan menjadi baik.

Sekedar turun ke jalan meneriakkan BBM murah tentu bukan solusi jangka panjang. Benar, untuk keadaan sekarang mungkin bisa mengubah kondisi, tapi tidak untuk 5 atau 10 tahun mendatang. Bagi saya, mengkampanyekan pola hidup hijau lebih baik ketimbang membiasakan masyarakat dengan BBM murah. Melepaskan ketergantungan dari BBM, itu kuncinya.

Saya sadar tulisan saya ini gak fokus, tapi benang merahnya adalah: bahwa perubahan itu dimulai dari dirimu. Jangan terlalu mudah menuntut orang lain. Tanggung jawab itu ada pada dirimu.