Pak Ketut, Mualaf yang Terbuang dari Keluarganya
Hari ini saya mendapat sebuah pelajaran yang sangat luar biasa. Secara kebetulan, saya bertemu dengan seorang mualaf asal Denpasar. Beliau terusir dari keluarganya, dan sedang dalam perjalanan ke Darut Tauhid Bandung. Cerita lengkapnya berikut ini.
Tadi siang, sekitar jam 1, saya dan DNH mampir ke Masjid Gede Kauman. Tujuannya untuk istirahat, solat, dan juga makan nasi yang sudah kami beli, sekaligus juga untuk berteduh karena hujan mulai turun.
Ketika kami sedang makan di serambi, ada seorang Bapak duduk kira-kira 2 meter dari tempat kami. Beliau baru saja habis solat. Memakai kaos, celana panjang, dan peci. Di tangan beliau ada tasbih warna hitam. Saya tidak terlalu memperhatikan karena sedang makan.
Beberapa saat kemudian beliau berucap, “Hujannya deras sekali ya Mas”. Saya menengok, memastikan bahwa beliau sedang bicara kepada saya. Karena di dekat beliau tidak ada orang lain (saya yang terdekat), maka saya pun menjawab (basa-basi), “Iya pak, belum terang-terang dari tadi”.
Beberapa saat kami saling diam. Saya lanjut makan. Kemudian beliau berkata, “Saya baru pertama kali ke masjid Kraton ini. Alhamdulillah bisa sampai ke sini”. Saya menghentikan makan, kemudian fokus pada beliau. “Bapak dari mana?” tanya saya.
“Saya dari Bali, dari Denpasar”, jawab beliau. Mendengar nama Bali, saya pun antusias mendengarkan. “Saya sebenarnya mau ke Bandung, ke Darut Tauhid tempatnya Aa Gym, gak sengaja mampir di sini”, lanjut beliau.
Saat itu yang terbersit di fikiran saya adalah, beliau ini muslim Bali yang sedang ziarah ke Jawa. Maka saya pun menanyakan. “Wah, kemarin Nyepi bagaimana Pak keadaannya?”. Maksud saya adalah menanyakan keadaan umat Islam Bali sewaktu Nyepi berlangsung.
“Tiyang sudah bukan Hindu mas, sudah dua bulan masuk Islam” jawab beliau. Saya agak kaget, wah ternyata mualaf. DNH juga spontan berucap, “Wah alhamdulillah Pak”. Beliau tersenyum dan berucap, “terima kasih”, sambil kedua tangannya disatukan dan sedikit menundukkan kepala.
“Saya masuk Islam, syahadat didepan Aa Gym waktu beliau ke Tabanan” lanjutnya. “Setelah itu saya dikeluarkan dari keluarga. Jadi sekarang saya meninggalkan Bali. Waktu itu Aa Gym meminta saya untuk ke Darut Tauhid. Jadi sekarang saya mau ke sana”.
“Ya Allah, Bapak...” DNH terkejut. Saya melanjutkan “Semangat bapak luar biasa sekali”, saya berkata dengan kagum campur haru.
“Iya Mas, sudah pilihan saya. Keluarga tidak menerima saya lagi. Istri saya juga tidak menerima. Saya menumpang truk sampai ke Jawa. Sampai Surabaya saya naik kereta sembunyi-sembunyi. Saya kira sampai ke Bandung, ternyata cuma sampai Jogja”.
Kami sangat kaget mendengar cerita Bapak itu. Ada beberapa pembicaraan lagi setelah itu, tapi saya lupa detailnya. Maklum ingatan saya memang gak terlalu baik. Saat itu saya juga sambil menghabiskan makanan.
Setelah makanan saya habis, saya mendekat ke beliau. Saya ulurkan tangan, “saya Ihsan Pak”. Beliau membalas uluran tangan saya dan menjawab, “Tiyang Ketut”.
Beliau mulai tanya tentang saya, bekerja di mana, asalnya dari mana. Mendengar jawaban saya bahwa kami masih kuliah, beliau mendoakan kesuksesan kami berdua.
Beliau bercerita, bahwa menurut adat, orang yang dibuang tidak boleh membawa apa-apa. Beliau membuka ranselnya, Isinya baju ganti, mungkin 2 atau 3 potong saja ditambah satu sajadah kecil. “Waktu tiyang syahadat, rasanya lega sekali Mas, saya bisa meninggalkan berhale-berhale itu” lanjut beliau bercerita.
Terharu mendengar ceritanya. Saya menawarkan untuk saya ajak makan di warung depan masjid, namun beliau menolak. “Sudah mas, tiyang cukup minum air wudhu. Udah lega rasanya. Tidak terasa lapar haus”. Begitu hujan reda, beliau tampak tergesa-gesa. “Saya mau kembali ke stasiun lagi Mas. Mau cari kereta ke Bandung”.
Saat itu rasanya saya bingung, mau berbuat apa untuk membantu. Sampai beliau akhirnya melangkah keluar masjid, memakai sepatunya. Saya hanya bisa mengucapkan, “Hati-hati ya Pak, semoga selamat sampai tujuan”.