Ihsan Ariswanto

Temen saya Yudi Al Fakhrizi aka Si Doel punya proyek mengumpulkan teks sholawat yang biasa di lantunkan di majelis kami. Soalnya buku kecil yang biasa dipakai kurang lengkap. Sementara yang buku besar terlalu lengkap sampai susah nyarinya.

Saya kebagian tugas bikin covernya. Gaya cover seperti kitab-kitab kuning. Sebenarnya temen saya minta di covernya diberi gambar jabat tangan. Tapi setelah saya pikir-pikir, gaya seperti ini lebih pas.

cover buku shalawat

Saya kerjakan pake GIMP dan sedikit pakai Inkscape untuk trace kaligrafi bagian atas yang saya comot dari google. Font yang mirip arab itu pakai alhambra, donlot dari sini.

Temen saya gak pengen namanya tercantum di depan. Tapi menurut saya perlu buat menghargai kerja kerasnya. Maka, namanya saya tulis pakai aksara Arab Melayu (Jawi) agar tidak terlalu nampak. Saya pakai converter yang di sini.

(originally posted at ariswanto.web.id on 2012-03-16)

Sudah sejak lama, saya punya keinginan untuk naik sepeda dari rumah (Pucung, Imogiri) sampai ke kampus UGM. Dulu kendalanya adalah, saya gak punya sepeda. Beruntunglah, beberapa bulan lalu, ibu saya beli sepeda bekas (second hand, atau malah third hand, gak tau saya). Butut sih, tapi yang jelas, ada rodanya sama pedalnya.

Nah, kebetulan hari Minggu kemarin (16/10) ada fun bike di fakultas tetangga (kedokteran). Selain mengincar doorprize-nya (iPad saudara-saudari), saya juga jadi punya “alasan” buat nyepeda ke kampus. Dengan semangat '69 saya putuskan buat mengayuh sepeda butut tadi ke kampus (padahal disediakan juga sepeda di lokasi buat warga UGM).

Pucuk dicinta ulam tiba... Ternyata rombangan kawan-kawan di kampung, yang diprakarsai Mr.Arrazes van Depag juga punya rencana sepedaan ke Malioboro. Jadilah saya gabung sama kawan-kawan. Sabtu malam Minggu (15/10), sekitar jam 22.00, kami berangkat menuju Malioboro.

Sekitar 2 jam perjalanan, dan satu jam-an nongkrong melepas lelah di Depan Kantor Pos Besar, kami pun berpisah. Saya lanjut ke kawasan UGM, untuk menginap di kos teman saya, si Mc Rizal, sedangkan kawan-kawan lain melanjutkan perjalanan pulang.

Sisa malam itu saya tidur kurang lebih 1 jam, karena asyik mengobrol sama sang tuan rumah (tuan kamar kos, lebih tepatnya). Bangun subuh, setelah itu lihat koleksi video-video kocak di kompinya si Mc. Jam 6 mandi, lalu berangkat ke lokasi fun bike.

Pagi itu, sumpah, kaki saya pegal-pegal. Tapi semangat yang kokoh bagai iPad membuat saya tetap hepi mengayuh si butut oranye. Start jam 7, rombongan fun bike pun mulai menyusur jalanan kota Jogja, dari kampus UGM hingga kawasan Patang Puluhan, lalu balik lagi ke UGM sekitar jam 9.

Sembari menunggu undian, ada acara dangdut dan games. Di games itu, suara emas saya memukau (atau memuakkan?) para peserta lain melalui lagu Tragedi Tali K*tang-nya Cak Diqin. Ah, senangnya... Penyanyi dangdutnya sih agak-agak tua, hehe, tapi untungnya ada artis kondang mBantul, Bung Hendro Pleret yang bisa mencairkan suasana jadi lebih meriah. Ada juga penampilan band-band dari fakultas kedokteran.

Dagdigdug saat pengundian doorprize utama (iPad). Dan saya harus merelakan itu tablet jatuh ke tangan peserta lain. Hampir adzan Dhuhur, acara selesai, saya pun mulai mengayuh sepeda untuk pulang. Mampir di masjid At-Taqwa Kota Baru, untuk sholat dan tidur. Hampir 2 jam tidur, perut pun lapar. Saya melanjutkan perjalanan. Saya putuskan untuk lewat jalan Tamsis, karena ada rumah makan padang favorit saya di sana.

Melewati jalan Tamsis, ternyata ada festival jajanan, memperingati HUT Kota Jogja. Selain makanan, di sepanjang jalan juga ada beberapa panggung kesenian. Di panggung pertama, saya berhenti sejenak. Ada band beraliran punk rock sedang tampil. Selesai penampilan, saya lanjutkan perjalanan, dan berhenti lagi di panggung berikutnya yang menampilkan grup keroncong. Asik juga lihatnya.

Puas melihat, saya lanjutkan mengayuh, menuju tujuan, rumah makan Padang inisial MM. Makan siang sembari lihat tayangan F1 di tivi. Selesai, saya lanjutkan lagi, mencari tempat buat asar dan menunggu petang, biar gak banyak diliat orang di kampung pas pulangnya.

Singkat cerita, saya tiba di rumah selepas Magrib (udah mampir magrib di perjalanan). Capek memang dan ngantuk, tapi sungguh aneh bin ajaib, kaki saya malah gak ngerasa pegal sama sekali.

Ternyata bersepeda memang enak... Makanya tawaran Mr. Arrazes untuk nyepeda lagi pun saya sanggupi. Dan sepertinya, saya akan ngayuh si butut ke kampus lagi... Mungkin seminggu sekali.

Apa yang saya percaya kemarin, belum tentu masih saya pegang hari ini. Plin-plankah saya? Saya akui, ya, saya plin-plan! Bahkan bisa jadi apa yang saya cela hari ini, esok pagi akan jadi sesuatu yang saya puja-puja atau sebaliknya. Saya selalu gagal untuk bertahan pada satu perhentian pemahaman. Selalu saja muncul ketidakpuasan atas apa yang ada saat ini. Bersamaan dengan itu, selalu muncul penasaran pada hal baru.

Semua telah bermula sejak kecil. Saya terlahir dalam lingkungan muslim tradisional yang sekaligus juga sangat terikat pada budaya Jawa. Budaya versus agama, mungkin itu titik awal pertentangan yang menarik peratian saya.

Buku barangkali jadi salah satu kambing hitam atas “kegalauan” saya. Apa yang diajarkan pada saya, ternyata berbeda dengan apa yang saya baca di buku. Terkadang tradisi yang dianut lingkungan saya, dengan tegas disalahkan oleh tulisan-tulisan yang saya baca di buku. Sebuah ketidakpuasan lugu dari seorang bocah, yang mendorong pencarian terus menerus. Terjerat dalam keasikan, yang ternyata seperti candu.

Belasan tahun dalam kehidupan saya, saya banyak berkenalan dengan berbagai pemahaman spiritual. Ketika saya tidak puas dengan pemahaman A, ternyata ada pemahaman B yang saya anggap lebih benar. Tapi ketika memperdalam B, saya temui lagi ketidakpuasan. Pada saat itu pemahaman C seperti menjadi jalan keluar. Begitulah seterusnya, dari C ke D, terkadang kembali ke B atau A.

Saat ini saya memilih untuk menempatkan tiap pemahaman pada porsi masing-masing. Teks saklek dan puritan, saya tempatkan pada peribadatan saya dengan Tuhan. Penafsiran bebas, saya gunakan ketika saya berinteraksi dengan orang lain, lingkungan sekitar, atau ketika saya beradapan dengan sains. Tidak semua pemahaman saya terima, namun saya bisa memahami jika orang berbeda dengan saya. Sekali lagi, bisa jadi esok pagi saya tak lagi memahami seperti ini.

Saya sendiri tidak tahu kapan semua pencarian ini akan berakhir. Barangkali, tidak akan pernah berakhir sampai saya masuk liang kubur. Kiranya Tuhan ampuni saya dan beri saya petunjuk, juga pada Anda semua.

Pulang dari nikahan kawan saya, Iwan Suharyanto dan kawan saya juga Farihah Wahidati, saya jadi terpikir dengan resepsi tadi. Resepsi dengan prasmanan dan kursi yang minim. “Standing Party” biasa digunakan untuk istilah resepsi/pesta yang seperti itu. Tenang saja kawan, saya tidak akan membahasnya dalam kaca mata agama, karena butuh baca referensi-referensi terlebih dahulu untuk hal itu. Yang saya tahu bahkan makan/minum sambi berdiri menjadi khilafiah (pro-kontra) dalam pandangan ulama (CMIIW). Jujur, saya baru dua kali mendatangi resepsi dengan format seperti itu, yang satunya dulu disediakan kursi dengan jumlah yang banyak meskipun prasmanan. Agak ndeso ketika tadi saya menuang fanta yang kata teman-teman ternyata itu untuk keluarga. Banyak senyum dari kawan dan bahkan dari sang pengantin melihat tingkah saya tadi.. hahahaha.. Bodohnya saya.

Saya hanya menuliskan catatan saja untuk resepsi semacam ini:

  • Keakraban: Ternyata format seperti ini membuat sesama tamu bisa saling bercengkerama. Beda dengan format tradisional di mana tamu duduk di kursi masing-masing dan hanya bisa berbicara dengan orang di sekitarnya. Itupun tidak bebas karena harus mengikuti prosesi acara.

  • Lebih kenyang: Terbukti kawan saya bolak-balik mengambil sate sampai puas.. hahaha..

  • Mahal: Tidak perlu dibahas, sudah pasti sewa gedung dan bayar catering membutuhkan biaya lebih.

  • Hemat ruang: Jelas, karena tak perlu banyak kursi dan hadirin yang jumlahnya banyak bisa datang silih berganti.

  • Menjadi asosial: Terutama jika diadakan di desa. Di tempat saya nikahan itu dinikmati bukan hanya oleh keluarga dan tamu, tapi juga masyarakat sekitar. Saat nikahan, semua akan “tumpek breg” rewang. dari Bapak, ibu, sampai anak-anaknya akan ikut berada di rumah yang punya gawe.

Sejujurnya tulisan ini memang hanya “kejar tayang” agar blog saya makin berisi, tapi saya yakin pembaca bisa berbagi cerita dalam komentar-komentar di bawah nanti.