Ihsan Ariswanto

Hampir semalam suntuk saya gelisah, sambil memikirkan sabda Kanjeng Nabi ini: kemiskinan mendekatkan pada kekufuran. Ini terjadi karena saya membaca berita tentang diluncurkannya minuman beralkohol 40% berjuluk Sophia oleh Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT). Dari berita sebelumnya, saya tahu bahwa peluncuran minuman ini diharapkan oleh Gubernur NTT akan meningkatkan pendapatan masyarakat serta—mengutip berita di Kompas online—kemiskinan perlahan akan berkurang, karena investasi akan masuk ke sana. Adapun kegelisahan saya adalah, haruskah saya menjadi pemabuk, atau minimal peminum, demi cita-cita mulia mengentaskan kemiskinan ini, yang pada akhirnya juga akan menyelamatkan masyarakat NTT dari kekufuran?

Sayangnya dengan kondisi yang ada sekarang ini, saya harus memilih antara menyelamatkan masyarakat dari murka Tuhan akibat kekufuran, atau menyelamatkan diri saya sendiri dari kobaran neraka akibat minum air api terlarang. Sebabnya begini, kekufuran adalah hal yang amat dibenci oleh Tuhan—setidaknya versi Tuhan yang saya sembah—namun minuman beralkohol pun adalah satu dari sekian larangan Tuhan—sekali lagi Tuhan versi yang saya sembah. Andai produk yang diluncurkan oleh Pemerintah Provinsi NTT adalah kain batik, atau jus jamur, atau daging sintetis berbahan dasar tumbuh-tumbuhan, masalah tidak akan muncul dan saya tidak perlu memilih satu dari dua opsi yang sama-sama berujung neraka.

Sempat terpikir jalan tengahnya: saya akan membeli Sophia sebanyak yang saya mampu, namun tidak akan saya minum, entah akan saya jadikan sebagai obat luka, atau saya pajang sebagai koleksi. Namun ini pun tak lepas dari masalah. Pertama, kadar 40% alkohol kurang tinggi untuk penyembuh luka. Kedua, ini adalah bentuk pemborosan, sementara orang boros adalah teman setan, dan teman setan tempatnya juga di neraka.

Adapun opsi lain, yakni berganti Tuhan, memilih versi Tuhan yang tidak menghukum peminum alkohol—tidak pernah saya anggap sebagai opsi serius, begitu pun berganti Tuhan yang tidak membenci kekufuran dan tidak mengirim nabi yang menyabdakan kemiskinan dekat dengan kekufuran. Sebabnya tentu saja, karena saya sudah terikat perjanjian untuk tidak berganti Tuhan. Jikalau melanggar perjanjian ini, saya pun akan diseret ke neraka kelak.

Bagaimanapun, saya harus menentukan pilihan, sebab membiarkan orang miskin jatuh pada kekufuran adalah perbuatan dosa, yang lagi-lagi bakal mengantarkan pelakunya ke neraka. Artinya, jika saya tidak menentukan pilihan, saya telah membiarkan 1,14 juta warga miskin NTT, sesuai data BPS 2018, plus diri saya sendiri untuk masuk neraka. Belum lagi bukankah kata Dante tempat tergelap di neraka dicadangkan bagi mereka yang tetap bersikap netral di saat krisis moral? Artinya saya bakal masuk neraka dobel jika tak menentukan pilihan, neraka Tuhan saya dan neraka versi Dante.

Dengan segala pertimbangan di atas, satu-satunya pilihan dengan dampak terkecil adalah saya harus menjadi peminum Sophia. Peminum, bukan pemabuk, sebab peraturan daerah yang baru saja dikeluarkan Pemerintah Provinsi NTT melarang minum Sophia sampai mabuk. Dengan menjadi peminum Sophia, hanya saya saja yang bakal masuk neraka, sementara kemiskinan 1,14 juta warga NTT insya Allah bakal “perlahan berkurang” dan tentu saja 1,14 juta warga semakin menjauhi zona kekufuran, terhindar dari neraka.

Sesungguhnya selain perkara bahwa saya bakal masuk neraka, ada pula masalah lain yang jangkanya lebih pendek. Itu adalah harga Sophia. Rencananya, Sophia bakal dibandrol kisaran sejuta rupiah sebotol. Bukan angka kecil. Saya bakalan harus memangkas banyak pos anggaran keluarga demi bisa membeli Sophia, kemungkinan anggaran susu untuk anak yang akan terpangkas paling besar.

Rencananya saya akan beli sebotol Sophia tiap bulan, diminum diam-diam tiap malam selepas sembahyang Isya, kecuali malam Jumat. Demi mengurangi risiko siksa neraka, akan saya imbangi dengan rutin menjaga empat rakaat sebelum solat fardhu Zuhur dan empat rakaat setelahnya, sebab konon Tuhan akan mengharamkan neraka bagi yang rutin melaksanakan salat sunat tersebut.

Saya harus siap dengan segala risiko. Mungkin istri akan marah, atau bahkan menuntut cerai. Mungkin sahabat-sahabat akan menjauhi saya yang sebentar lagi menjadi ahli maksiat dan berstempel penghuni neraka. Tapi semua itu tak berarti apa-apa jika saya telah mantap menuju tujuan mulia.

Terakhir diperbarui pada 13 Januari 2022 oleh Ibil S Widodo

Orginally published at Terminal Mojok on 2019-06-30

Dini hari di Bantul tentu saja adalah puncak kesunyian dalam ritme satu putaran bumi yang dilakoninya. Pekerja borongan yang lembur baru saja terlelap dan mbok-mbok pasar masih menyiapkan dagangannya di rumah. Geliat kehidupan rakyat masih menunggu sejam dua jam lagi untuk dimulai.

Namun, pada dini hari Sabtu Kliwon itu, di sebuah rumah yang berada di samping selokan lebar yang bertanggul, suatu aktivitas yang melibatkan seluruh anggota keluarga telah dimulai. Aktivitas mruput itu berawal dari keluhan satu anggota keluarga, seorang perempuan muda yang tahun lalu menikah. Setelah melalui masa empat puluh minggu kehamilan, dini hari itu sang perempuan mengalami pendarahan. Bersegeralah seisi rumah itu mempersiapkan diri, untuk kemudian melaju ke rumah sakit terdekat, RSUD Panembahan Senopati.

Kebahagiaan menyelimuti keluarga itu. Bidan yang berjaga malam itu menyatakan bahwa sang perempuan muda telah mengalami pembukaan dua. Tinggal menunggu hitungan jam, si buah hati akan segera lahir ke jagat marcapada. Segala puji bagi Allah.

Sang perempuan muda kemudian dipindahkan ke ruang bersalin ditemani ibunya. Hanya satu orang yang diizinkan oleh petugas rumah sakit untuk menemani. Sementara si suami menunggu dengan cemas di kursi panjang di luar ruangan.

Subuh berkumandang, matahari Sabtu pagi itu akan segera memunculkan sinarnya. Sang perempuan muda kini telah melewati pembukaan empat.

Saat matahari telah naik sepenggalahan, ponsel si suami berdering. Ibu yang menjaga di dalam mengabarkan bahwa si buah hati telah lahir. Senyum mengembang di bibir hitam si suami. Lantunan pujian keluar dari bibirnya.

Si suami diizinkan masuk ke ruangan. Dilihatnya sang istri terlentang dengan darah meliputi tubuh dan pembaringannya. Dan tepat di dada perempuan muda itu, tergolek tubuh mungil dengan tangisan keras.

Engkau telah hadir, Nan.

(originally posted on ariswanto.tumblr.com)

ihsan-dewi

Apa saja buah Reformasi 1998 yang bisa kita rasakan sampai sekarang? Penyelenggaraan negara yang bersih? Rasanya tidak! Korupsi masih mengurat dan mengakar. Kemajuan ekonomi? Mungkin iya, namun belum benar-benar warga negara ini lepas dari jerat kemiskinan. Kebebasan berpendapat? Saya kira iya, inilah salah satu buah reformasi yang bemar-benar bisa kita rasakan saat ini.

Bandingkan dengan era orde baru. Anak negeri yang kritis dan vokal pada pemerintah orde baru terancam diculik atau bahkan kehilangan nyawanya. Etnis minoritas dilarang menampilkan identitas kesukuan warisan nenek moyang mereka.

Hari ini kita bisa menikmati kebebasan itu tanpa banyak rasa takut. Saya berani menulis di blog. Para oposisi terang-terangan mengkritik Pemerintah tanpa ada rasa takut. Semua itu adalah buah Reformasi 1998 yang benar-benar bisa dinikmati.

Sayang sekali, atas nama “memelihara moral anak bangsa” pemerintah memaksakan sarana sensor internet dengan nama Trust+Positif. Sensor yang diberlakukan sejak era pemerintahan sebelumnya ini, sekarang akan ditingkatkan dengan mewajibkan penyelenggara jaringan internet untuk mengarahkan pengguna mengakses internet melalui DNS Trust+Positif.

Seperti dilansir oleh Detik dan DailySocial, Menkominfo mengirim surat kepada para direktur penyelenggara jaringan internet untuk men-sinkron-kan akses internet mereka dengan DNS Trust+Positif yang ditetapkan sebagai DNS nasional. Tenggat waktu yang diberikan sampai dengan 31 Mei 2015.

Mengapa penerapan DNS nasional ini berbahaya bagi kebebasan? Dengan adanya pemaksaan ini, semua lalu lintas internet harus melewati filter yang dibuat pemerintah. Pemerintah punya kontrol penuh, website mana yang boleh dan tidak boleh diakses.

Pelaksanaan Trust+Positif yang selama ini sudah berjalan menunjukkan, pemerintah bisa “seenak hatinya” memblokir website. Kejadian yang banyak dikeluhkan misalnya pemblokiran Vimeo dan Reddit, yang bagi sebagian penggunanya adalah sarana untuk mengakses pengetahuan. Pemaksaan sensor ini akan memberi kuasa bagai pemerintah untuk membungkam siapa saja yang tidak diinginkan oleh pemerintah.

Anggap suatu saat ada website yang bisa membongkar skandal korupsi yang ditutup-tutupi. Dengan kekuatan sensor ini, pemerintah bisa mengekang mereka untuk menyebarkan informasi melalui internet.

Dari sisi pelaksanaan sensor ini, terlihat pemerintah berangsur-angsur meningkatkan kekuatan sensornya. Dulu hanya daftar website yang harus diblokir saja yang diwajibkan untuk diterapkan penyelenggara jaringan. Saat ini sudah ditingkatkan menjadi pewajiban DNS nasional, konon karena ada operator yang “bocor” atau tidak menerapkan daftar blokir seperti yang diinginkan Kominfo.

Dari kecenderungan di atas, jika kelak DNS naional bisa ditembus, tampaknya pemerintah akan mencari cara lagi untuk makin memperketat sensornya. Bisa jadi, kebebasan informasi di negeri ini akan seburuk Cina!

Dua belas jam menjelang pemilu legislatif, aku sudah memantabkan tekad untuk tidak memilih calon legislatif tingkat DPR RI dan DPRD Provinsi. Untuk DPRD Kabupaten dan DPD aku sudah menetapkan pilihan dan akan memberikan suara untuk kandidat yang aku pilih.

Alasan utamaku untuk tidak memilih adalah tidak adanya partai yang sepenuhnya mewadahi aspirasi dan ideologi yang aku percayai. Aspirasi yang kumaksudkan adalah harapanku akan jalannya negara dalam 5 tahun ke depan, sedangkan ideologi adalah seperangkat pandangan politik yang aku percayai mampu membawa pada bentuk kemakmuran ideal. Pada tingkat pusat, aku hanya mau memilih partai yang mewadahi keduanya: aspirasiku dan ideologiku. Cukuplah aku sebutkan, bahwa itu adalah pilihan politikku, mengenai alasannya, lain kali mungkin akan aku tulis terpisah.

Sejatinya ada beberapa partai dengan pandangan yang hampir bersesuaian dengan aku percaya, namun membawa agenda yang bertentangan dengan aspirasiku. Ada pula partai dengan rancangan yang mengagumkanku, namun perilaku mereka di lapangan sangat bertentangan dengan pandangan politik yang aku percayai. Kesimpulanku, partai manapun yang menang tidak akan ada bedanya untuk aku, mereka tidak mewakiliku sepenuhnya.

Himbauan untuk melihat caleg tanpa melihat partai sempat aku pertimbangkan. Namun pada akhirnya aku berkesimpulant, caleg tidak mungkin lepas dari pengaruh partai. Jadi sebaik apapun dia, kalau partainya tidak mewakili aspirasi dan pandangan politikku, maka tiada beda dia dengan caleg lain.

Kekhawatiran bahwa, apabila tidak memilih, akan menguntungkan caleg korup, bagiku tidak beralasan. Lolosnya caleg korup adalah kesalahan pemilihnya, bukan kesalahan yang tidak memilih. Bila ditarik lebih jauh, majunya caleg korup adalah karena kegagalan partai politik dalam memilih kandidat-kandidatnya. Apakah kesalahan ini hendak dilemparkan ke para golput? Salah tembak rasanya.

Mengenai DPRD Kabupaten dan Provinsi, tidak terlalu signifikan bagiku untuk bersikukuh pada pandangan politik. Cukuplah asal aspirasiku terwakili. Produk hukum daerah adalah derivasi dari produk hukum tingkat nasional. Maka dinamika ideologi di tingkat daerah bagiku tidak mendesak sebab tergantung pada apa yang terjadi di tingkat nasional. Cukup dengan hanya melihat caleg saja, tanpa perlu melihat partai.

Lalu mengapa untuk tingkat Provinsi aku juga tidak memilih? Terus terang, untuk tingkat Provinsi aku tidak sempat menelusuri para kandidat. Prinsipku: kalau tidak tahu, maka diam saja! Melepaskan hak memilih, adalah tindakan bertanggung jawab bagi yang gagal mencari informasi politik. Aku tidak mau memilih ngawur. Bagiku itu sama sekali tidak bijak.

Untuk DPD, tidak ada pengaruh partai. Kualitas kandidat saja yang menentukan. Aku telah punya pilihan yang menurutku bisa mewakili provinsiku dengan baik.

Apakah selamanya aku tidak akan memilih? Apakah aku hanya berpangku tangan menunggu datangnya partai yang sesuai? Apakah aku siap dengan segala konsekuensi dari “tidak memilih” ini? Itu akan aku tulis pada bagian selanjutnya: Politik Ribet Ala Golput, Sebuah Tanggung Jawab terhadap Demokrasi

Pamungkas dari tulisan ini, aku berpendapat, demokrasi bukan sekedar pemerintahan yang dipilih oleh rakyat. Demokrasi dibangun dari kebebasan. Kebebasan mengemukakan dan melaksanakan sebuah gagasan. Kebebasan untuk memilih apa yang benar-benar sesuai dengan keinginan. Dan ketika pilihan yang dirasa tepat itu tidak ada, maka “tidak memilih” adalah juga bagian dari kebebasan tersebut.

Sembari merayakan kembalinya domainku, ariswanto.web.id, yang sudah beberapa minggu off karena belum diperpanjang kontraknya.

November ini masih tetep semangat jadi barisan pencari kerja. Masih ada beberapa batch dari proses lamaran bulan-bulan sebelumnya. November tersisa ini masih ada harapan buat CPNS, karena masih ada 1 lowongan yang saya ikuti, yang belum ujian.

Desember saya jadikan batas akhir periode tak jelas ini. Harapan sih di bulan Desember sudah berstatus sebagai pekerja, bukan lagi pengangguran. Saya batasi diri sampai 31 Desember 2013, kalau memang belum ada yang menerima saya, mulai 1 Januari 2014, saya akan fokus jualan saja.

Mohon maaf kalau ada yang kecewa dengan keputusan pribadi ini. Terus terang, dana dan energi saya untuk cari kerja juga semakin menipis. Bukannya menyerah ya, tapi siapa yang mau mendanai kalau saya tidak jualan? Umur sudah 27, malu disubsidi ortu terus-terusan.

Harapan sih semoga Desember sudah ada yang mau nerima, jadi semua pihak senang dan gembira.

(Originally posted at ariswanto.web.id on 2013-11-12)

Yang nanya saya sekarang sibuk apa, saya jawab bahwa saya lagi sibuk menganggur :D. Selain berburu kerjaan, juga lanjutin iseng2 jualan. Lumayanlah daripada bengong. Saking menganggurnya sampai banyak hal2 yang saya kerjakan sampai2 jadi sibuk.. Saya malah jadi bingung, sebenarnya saya ini nganggur atau sibuk sih?

30 Januari, saya ujian pendadaran tugas akhir di kampus. Telat 4,5 tahun dari waktu studi yang normal (8 semester). Banyak pertanyaan, ke mana saja selama ini? Apa saja yang saya lakukan? Baiklah, secara singkat akan saya jelaskan apa yang terjadi pada saya selama ini.

Tahun 2007, selepas KKN ada kondisi emosional yang cukup mengganggu saya. Sulit untuk menceritakan. Pada intinya ada sakit cinta tak berbalas, hehe. Keadaan ini mendorong saya untuk galau walaupun saat itu kata tersebut belum nge-tren.

Untuk mengobati galau inilah, banyak kegiatan luar kampus yang saya lakukan. Akhir 2007, saya diajak oleh salah satu guru ngaji saya waktu kecil untuk membantu beliau dalam menjagokan diri menjadi caleg DPRD Kab.Bantul. Inilah awal mula keterlibatan saya di salah satu parpol. Harapan saya waktu itu adalah untuk cari pengalaman saja, sekaligus menyibukkan diri agar tidak galau terus-terusan.

Saat hampir bersamaan, ada pemilihan pengurus organisasi kepemudaan di kampung. Dan saya oleh masyarakat, didaulat sebagai salah satu calon. Tapi akhirnya saya terpilih sebagai wakil ketua.

Inilah saat-saat sibuknya saya di kampung. Ikut parpol, rapat sana-sini dukung sang caleg, kadang sampai gak pulang. Saat itu juga sekaligus ngurus kepemudaan di kampung, yang waktu itu sedang butuh perbaikan organisasi karena sempat vakum 6 bulan tanpa ketua (hanya pejabat sementara saja). Karena saya lebih tua dibandingkan ketua terpilih, juga karena kebetulan saya lebih bisa ngomong Jawa, maka saya yang sering menjadi juru bicara organisasi. Urusan kuliah entah sudah terlupakan ke mana.

Pemilu 2009 ternyata membawa sedikit (atau banyak?) perpecahan di masyarakat. Minimal ada dua kubu waktu itu. Ini terbawa juga sampai ke kepemudaan juga.

Selesai pemilu ada satu kasus hamil di luar nikah di anggota kepemudaan. Saat itu masyarakat terbagi menjadi dua pandangan, yang ingin menegakkan aturan adat untuk memberi hukuman pada pelaku zina, dan yang tidak ingin memberi hukuman (atau memberi hukuman ringan saja). Saya ikut yang memberi hukuman (karena saya mengikut pada keputusan masyarakat yang sudah ada sebelumnya). Sebenarnya hukuman tidak berat, kami “hanya” mangkir dari kewajiban untuk melayani tamu dalam prosesi pernikahan. Di satu sisi, saya dianggap pahlawan, tapi di sisi lain saya dicap sebagai pemecah belah. Pusing? Sudah pasti.

Tahun 2009, pemilihan pengurus kepemudaan lagi (karena masa jabatan 2 tahun). Yak, saya jadi calon lagi. Dan tampaknya banyak yang anggap saya pahlawan, karena terbukti, saya terpilih jadi ketua. Beban, namun juga merasa “menang” karena pilihan saya dulu ternyata didukung masyarakat.

Tahun ini ada perubahan. pertama saya tidak lagi galau asmara (sudah terlupakan dengan semua kegiatan di atas). Kedua, untuk pertama kali saya punya teman wanita yang dekat secara personal yaitu DNH. Tahun 2009-2011 ini saya juga mulai merintis usaha, mulai dari jamur tiram bersama , juga usaha wayang kulit kerjasama dengan om saya. Saat itu, saya sangat jarang ke kampus.

Menjelang akhir kepengurusan, ada lagi masalah besar. Masih seputar zina. Tidak etis saya ceritakan, yang jelas saya kembali masuk dalam konflik masyarakat. Pada akhirnya, setelah masa kepengurusan habis, saya menyatakan tidak mampu lagi mengurus kepemudaan, dan tidak bersedia lagi dicalonkan. Sekaligus saya juga meminta kewajiban mengurus perzinaan tidak lagi dibebankan pada kepemudaan.

2011-2012, bisnis wayang kulit mulai menunjukkan kemajuan. Pada saat itu juga, saya ikut salah satu gerakan spiritual, untuk menenangkan batin saya yang sungguh merasa sangat terbebani dengan apa yang telah terjadi. beberapa masalah terjadi dengan DNH (yang udah jadi pacar) tapi bisa diselesaikan dengan rukun kembali.

Tahun 2012, saya sakit berat 2 kali. Yang pertama sakit asam lambung (maag) yang menyebabkan saya tidak bisa aktifitas selama hampir tiga minggu. Sekitar tiga bulan kemudian, saya sakit peradangan usus buntu, yang membuat saya istirahat selama 2 bulan (harus dibedah waktu itu).

Pada akhirnya, Januari 2013, saya harus menyelesaikan tugas akhir saya. Saya sadar telah gagal untuk melakukan penelitian dengan baik. Jarangnya saya bertemu dosen, menyebabkan hasil penelitioan jauh dari yang diharapkan. Namun pada akhirnya, saya bisa lulus meski dengan nilai pas-pasan.

Itulah sekilas apa yang saya alami selama 4,5 tahun menghilang dari kampus.Semua memang salah saya sendiri tidak fokus di kampus.

Hari ini saya mendapat sebuah pelajaran yang sangat luar biasa. Secara kebetulan, saya bertemu dengan seorang mualaf asal Denpasar. Beliau terusir dari keluarganya, dan sedang dalam perjalanan ke Darut Tauhid Bandung. Cerita lengkapnya berikut ini.

Tadi siang, sekitar jam 1, saya dan DNH mampir ke Masjid Gede Kauman. Tujuannya untuk istirahat, solat, dan juga makan nasi yang sudah kami beli, sekaligus juga untuk berteduh karena hujan mulai turun.

Ketika kami sedang makan di serambi, ada seorang Bapak duduk kira-kira 2 meter dari tempat kami. Beliau baru saja habis solat. Memakai kaos, celana panjang, dan peci. Di tangan beliau ada tasbih warna hitam. Saya tidak terlalu memperhatikan karena sedang makan.

Beberapa saat kemudian beliau berucap, “Hujannya deras sekali ya Mas”. Saya menengok, memastikan bahwa beliau sedang bicara kepada saya. Karena di dekat beliau tidak ada orang lain (saya yang terdekat), maka saya pun menjawab (basa-basi), “Iya pak, belum terang-terang dari tadi”.

Beberapa saat kami saling diam. Saya lanjut makan. Kemudian beliau berkata, “Saya baru pertama kali ke masjid Kraton ini. Alhamdulillah bisa sampai ke sini”. Saya menghentikan makan, kemudian fokus pada beliau. “Bapak dari mana?” tanya saya.

“Saya dari Bali, dari Denpasar”, jawab beliau. Mendengar nama Bali, saya pun antusias mendengarkan. “Saya sebenarnya mau ke Bandung, ke Darut Tauhid tempatnya Aa Gym, gak sengaja mampir di sini”, lanjut beliau.

Saat itu yang terbersit di fikiran saya adalah, beliau ini muslim Bali yang sedang ziarah ke Jawa. Maka saya pun menanyakan. “Wah, kemarin Nyepi bagaimana Pak keadaannya?”. Maksud saya adalah menanyakan keadaan umat Islam Bali sewaktu Nyepi berlangsung.

“Tiyang sudah bukan Hindu mas, sudah dua bulan masuk Islam” jawab beliau. Saya agak kaget, wah ternyata mualaf. DNH juga spontan berucap, “Wah alhamdulillah Pak”. Beliau tersenyum dan berucap, “terima kasih”, sambil kedua tangannya disatukan dan sedikit menundukkan kepala.

“Saya masuk Islam, syahadat didepan Aa Gym waktu beliau ke Tabanan” lanjutnya. “Setelah itu saya dikeluarkan dari keluarga. Jadi sekarang saya meninggalkan Bali. Waktu itu Aa Gym meminta saya untuk ke Darut Tauhid. Jadi sekarang saya mau ke sana”.

“Ya Allah, Bapak...” DNH terkejut. Saya melanjutkan “Semangat bapak luar biasa sekali”, saya berkata dengan kagum campur haru.

“Iya Mas, sudah pilihan saya. Keluarga tidak menerima saya lagi. Istri saya juga tidak menerima. Saya menumpang truk sampai ke Jawa. Sampai Surabaya saya naik kereta sembunyi-sembunyi. Saya kira sampai ke Bandung, ternyata cuma sampai Jogja”.

Kami sangat kaget mendengar cerita Bapak itu. Ada beberapa pembicaraan lagi setelah itu, tapi saya lupa detailnya. Maklum ingatan saya memang gak terlalu baik. Saat itu saya juga sambil menghabiskan makanan.

Setelah makanan saya habis, saya mendekat ke beliau. Saya ulurkan tangan, “saya Ihsan Pak”. Beliau membalas uluran tangan saya dan menjawab, “Tiyang Ketut”.

Beliau mulai tanya tentang saya, bekerja di mana, asalnya dari mana. Mendengar jawaban saya bahwa kami masih kuliah, beliau mendoakan kesuksesan kami berdua.

Beliau bercerita, bahwa menurut adat, orang yang dibuang tidak boleh membawa apa-apa. Beliau membuka ranselnya, Isinya baju ganti, mungkin 2 atau 3 potong saja ditambah satu sajadah kecil. “Waktu tiyang syahadat, rasanya lega sekali Mas, saya bisa meninggalkan berhale-berhale itu” lanjut beliau bercerita.

Terharu mendengar ceritanya. Saya menawarkan untuk saya ajak makan di warung depan masjid, namun beliau menolak. “Sudah mas, tiyang cukup minum air wudhu. Udah lega rasanya. Tidak terasa lapar haus”. Begitu hujan reda, beliau tampak tergesa-gesa. “Saya mau kembali ke stasiun lagi Mas. Mau cari kereta ke Bandung”.

Saat itu rasanya saya bingung, mau berbuat apa untuk membantu. Sampai beliau akhirnya melangkah keluar masjid, memakai sepatunya. Saya hanya bisa mengucapkan, “Hati-hati ya Pak, semoga selamat sampai tujuan”.

Kemarin waktu beli sate kuda di Serut (Segoroyoso, Pleret, Bantul), saya lihat minuman yang cukup langka. Saya perhatikan, minuman ini terbuat dari sari temulawak (Curcuma xanthorriza) yang difermentasi.

Sebenarnya saya cukup penasaran. Minuman ini udah sering saya dengar. Tapi karena kemarin cuma bawa uang pas, saya gak bisa beli itu minuman.

Minuman Fermentasi Temulawak "SW"

Sampai rumah saya searching2 tentang kehalalannya. Dari salah satu blog saya dapat info, minuman seperti ini kadar alkoholnya tidak sampai 1%, artinya masih batas halal sesuai fatwa MUI.

Terlebih di botolnya juga tidak ada cukai alkohol, jadilah saya semangat untuk mencobanya. Nah, hari ini saya balik lagi ke warung tadi buat membeli itu minuman.

Mereknya SW. Pabriknya di Magelang. Harganya murah, Rp3000 kalau isinya saja. Kalau bawa pulang botolnya Rp4000. Kata ibunya yang jual, kalau balik ke warung itu, botolnya bisa dibawa, nanti ditukar uang Rp 1000.

Kalau dilihat labelnya bagus. Biasanya softdrink murah seperti ini hanya pakai label fotokopian. Isinya 270 ml. Komposisi: air, gula, Curcuma xanthorriza, dan ragi temulawak.

Di label depan tertulis KADAR KARBONASI BERUBAH DAN BERTAMBAH SECARA ALAMI. ENDAPAN DAN GUMPALAN YANG MUNCUL BUKAN TANDA KERUSAKAN. Di tutup botol ada tanggal expirednya.

label depan Minuman Fermentasi Temulawak "SW"

Label belakang bisa Anda lihat di gambar bawah ini. Yang mearik di baris terakhir tertulis “Miracle of God”. penampakan label depan

label belakang Minuman Fermentasi Temulawak "SW"

Akhirnya sayapun mencobanya. Rasanya manis, sedikit asam, dan rasa temulawaknya cukup terasa. Sekilas rasanya mirip legen, namun ditambah aroma temulawak. Rasa karbonasinya hampir tidak ada. Memang cocoknya diminum dingin. Tapi karena tidak punya kulkas, jadi saya minum apa adanya.

Kalau dibandingkan softdrink populer, memang agak kurang rasanya. Terutama karen atidak ada rasa sodanya. Cocoknya ini diminum sambil makan makanan yang pedas.

Habis minum tidak pusing, tidak mabok hehe. Jadi aman dikonsumsi. Apalagi bahannya temulawak. Mungkin kalau rajin minum bisa jadi penari balet seperti Sherina Munaf :D.

(originally posted on ariswanto.web.id at 2012-03-18)