Ngobrol itu Bisa Menyenangkan

Dahulu, saya pernah menduga diri saya tak suka mengobrol. Memang kenyataannya, saya lebih sering diam ketika berkumpul baik dengan keluarga maupun teman. Bahkan ketika nongkrong dengan teman-teman yang akrab pun, lebih sering saya menjadi pendengar saja.
Belakangan, ketika saya sudah jauh dari kawan-kawan, jauh dari keluarga di kampung halaman, barulah saya merasakan betapa menyenangkannya mengobrol. Selalu ada rasa bahagia setelah melakukan obrolan. Ini tidak terbatas dengan orang baru saja, dengan orang yang setiap hari bertemu pun saya mulai merasakan senang untuk mengobrol.
Saya belum mampu untuk menuliskan seperti apa bahagianya mengobrol. Tapi, sebagai gambaran, banyak dari rasa sedih saya sejenak terlupakan ketika mengobrol. Menerima pengetahuan baru, menerima konfirmasi (atau afirmasi, saya belum buka kamus) dari orang lain atas pengalaman yang kita alami itu menimbulkan perasaan bahagia.
Meski begitu, frekuensi obrolan saya tetap tidak terlalu banyak. Saya kesulitan untuk masuk pada sebagian besar obrolan orang-orang. Obrolan sepak bola, misalnya, saya tidak pernah bisa mengikuti. Bergosip, walaupun dalam hati saya menikmati, juga lebih sering membuat saya jadi pendengar saja.
Kadangkala saya juga merasa terbebani ketika orang mulai mengajak mengobrol dengan tema yang menurutnya saya kuasai tapi ternyata tidak. Ada rasa takut mengecewakan lawan bicara. Ini biasanya terjadi ketika lawan bicara mengajak mengobrol soal pekerjaan. Saya memang buruk dalam urusan pekerjaan.
Untungnya, saya mulai menemukan trik untuk mengalihkan pembicaraan. Smartphone sungguh membantu. Dengan sedikit googling, kita bisa tersambung dengan obrolan yang tidak kita kuasai, sambil perlahan mengaitkan dengan hal-hal yang kita kuasai. Sayangnya cara ini tidak bisa dilakukan setiap saat.
Memang masih banyak hal yang harus saya pelajari untuk bisa menjadi pengobrol seperti kebanyakan orang. Walau begitu, setidaknya saya sudah bisa menikmati menjadi pendengar saja maupun menjadi orang yang didengar.

Dukungan untuk Richard Stallman

Ini adalah konfirmasi bahwa saya telah menandatangani Surat Dukungan Terbuka untuk Richard M. Stallman (RMS).

Untuk diketahui, saya adalah associate member FSF sejak Oktober 2020, dan oleh karenanya saya merasa berhak ikut bersuara untuk menentukan masa depan FSF.
Alasan saya mendukung RMS terwakili oleh artikel berikut: https://www.wetheweb.org/post/cancel-we-the-web 
https://libreboot.org/news/rms.html

Kami Positif Covid-19

Tanggal 17 Maret 2021 kemarin, saya dan istri terkonfirmasi positif Covid-19 melalui tes PCR. Kami menjalani isolasi mandiri di rumah terhitung mulai tanggal tersebut sampai dengan tanggal 31 Maret 2021. Baik saya maupun istri sama-sama hanya mengalami gejala ringan, sehingga tidak perlu perawatan lebih lanjut. Insya Allah mulai tanggal 1 April 2021 kami sudah mulai beraktivitas secara normal kembali.
NB: selama isolasi mandiri, saya rajin menggunakan masker 😂

Menjadi Peminum Demi Warga NTT

Hampir semalam suntuk saya gelisah, sambil memikirkan sabda Kanjeng Nabi ini: kemiskinan mendekatkan pada kekufuran. Ini terjadi karena saya membaca berita tentang diluncurkannya minuman beralkohol 40% berjuluk Sophia oleh Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT). Dari berita sebelumnya, saya tahu bahwa peluncuran minuman ini diharapkan oleh Gubernur NTT akan meningkatkan pendapatan masyarakat serta—mengutip berita di Kompas online—kemiskinan perlahan akan berkurang, karena investasi akan masuk ke sana. Adapun kegelisahan saya adalah, haruskah saya menjadi pemabuk, atau minimal peminum, demi cita-cita mulia mengentaskan kemiskinan ini, yang pada akhirnya juga akan menyelamatkan masyarakat NTT dari kekufuran?
Sayangnya dengan kondisi yang ada sekarang ini, saya harus memilih antara menyelamatkan masyarakat dari murka Tuhan akibat kekufuran, atau menyelamatkan diri saya sendiri dari kobaran neraka akibat minum air api terlarang. Sebabnya begini, kekufuran adalah hal yang amat dibenci oleh Tuhan—setidaknya versi Tuhan yang saya sembah—namun minuman beralkohol pun adalah satu dari sekian larangan Tuhan—sekali lagi Tuhan versi yang saya sembah. Andai produk yang diluncurkan oleh Pemerintah Provinsi NTT adalah kain batik, atau jus jamur, atau daging sintetis berbahan dasar tumbuh-tumbuhan, masalah tidak akan muncul dan saya tidak perlu memilih satu dari dua opsi yang sama-sama berujung neraka.
Sempat terpikir jalan tengahnya: saya akan membeli Sophia sebanyak yang saya mampu, namun tidak akan saya minum, entah akan saya jadikan sebagai obat luka, atau saya pajang sebagai koleksi. Namun ini pun tak lepas dari masalah. Pertama, kadar 40% alkohol kurang tinggi untuk penyembuh luka. Kedua, ini adalah bentuk pemborosan, sementara orang boros adalah teman setan, dan teman setan tempatnya juga di neraka.
Adapun opsi lain, yakni berganti Tuhan, memilih versi Tuhan yang tidak menghukum peminum alkohol—tidak pernah saya anggap sebagai opsi serius, begitu pun berganti Tuhan yang tidak membenci kekufuran dan tidak mengirim nabi yang menyabdakan kemiskinan dekat dengan kekufuran. Sebabnya tentu saja, karena saya sudah terikat perjanjian untuk tidak berganti Tuhan. Jikalau melanggar perjanjian ini, saya pun akan diseret ke neraka kelak.
Bagaimanapun, saya harus menentukan pilihan, sebab membiarkan orang miskin jatuh pada kekufuran adalah perbuatan dosa, yang lagi-lagi bakal mengantarkan pelakunya ke neraka. Artinya, jika saya tidak menentukan pilihan, saya telah membiarkan 1,14 juta warga miskin NTT, sesuai data BPS 2018, plus diri saya sendiri untuk masuk neraka. Belum lagi bukankah kata Dante tempat tergelap di neraka dicadangkan bagi mereka yang tetap bersikap netral di saat krisis moral? Artinya saya bakal masuk neraka dobel jika tak menentukan pilihan, neraka Tuhan saya dan neraka versi Dante.
Dengan segala pertimbangan di atas, satu-satunya pilihan dengan dampak terkecil adalah saya harus menjadi peminum Sophia. Peminum, bukan pemabuk, sebab peraturan daerah yang baru saja dikeluarkan Pemerintah Provinsi NTT melarang minum Sophia sampai mabuk. Dengan menjadi peminum Sophia, hanya saya saja yang bakal masuk neraka, sementara kemiskinan 1,14 juta warga NTT insya Allah bakal “perlahan berkurang” dan tentu saja 1,14 juta warga semakin menjauhi zona kekufuran, terhindar dari neraka.
Sesungguhnya selain perkara bahwa saya bakal masuk neraka, ada pula masalah lain yang jangkanya lebih pendek. Itu adalah harga Sophia. Rencananya, Sophia bakal dibandrol kisaran sejuta rupiah sebotol. Bukan angka kecil. Saya bakalan harus memangkas banyak pos anggaran keluarga demi bisa membeli Sophia, kemungkinan anggaran susu untuk anak yang akan terpangkas paling besar.
Rencananya saya akan beli sebotol Sophia tiap bulan, diminum diam-diam tiap malam selepas sembahyang Isya, kecuali malam Jumat. Demi mengurangi risiko siksa neraka, akan saya imbangi dengan rutin menjaga empat rakaat sebelum solat fardhu Zuhur dan empat rakaat setelahnya, sebab konon Tuhan akan mengharamkan neraka bagi yang rutin melaksanakan salat sunat tersebut.
Saya harus siap dengan segala risiko. Mungkin istri akan marah, atau bahkan menuntut cerai. Mungkin sahabat-sahabat akan menjauhi saya yang sebentar lagi menjadi ahli maksiat dan berstempel penghuni neraka. Tapi semua itu tak berarti apa-apa jika saya telah mantap menuju tujuan mulia.
Orginally published at Terminal Mojok on 2019-06-30

Pada Suatu Sabtu Kliwon

Dini hari di Bantul tentu saja adalah puncak kesunyian dalam ritme satu putaran bumi yang dilakoninya. Pekerja borongan yang lembur baru saja terlelap dan mbok-mbok pasar masih menyiapkan dagangannya di rumah. Geliat kehidupan rakyat masih menunggu sejam dua jam lagi untuk dimulai.
Namun, pada dini hari Sabtu Kliwon itu, di sebuah rumah yang berada di samping selokan lebar yang bertanggul, suatu aktivitas yang melibatkan seluruh anggota keluarga telah dimulai. Aktivitas mruput itu berawal dari keluhan satu anggota keluarga, seorang perempuan muda yang tahun lalu menikah. Setelah melalui masa empat puluh minggu kehamilan, dini hari itu sang perempuan mengalami pendarahan. Bersegeralah seisi rumah itu mempersiapkan diri, untuk kemudian melaju ke rumah sakit terdekat, RSUD Panembahan Senopati.
Kebahagiaan menyelimuti keluarga itu. Bidan yang berjaga malam itu menyatakan bahwa sang perempuan muda telah mengalami pembukaan dua. Tinggal menunggu hitungan jam, si buah hati akan segera lahir ke jagat marcapada. Segala puji bagi Allah.
Sang perempuan muda kemudian dipindahkan ke ruang bersalin ditemani ibunya. Hanya satu orang yang diizinkan oleh petugas rumah sakit untuk menemani. Sementara si suami menunggu dengan cemas di kursi panjang di luar ruangan.
Subuh berkumandang, matahari Sabtu pagi itu akan segera memunculkan sinarnya. Sang perempuan muda kini telah melewati pembukaan empat.
Saat matahari telah naik sepenggalahan, ponsel si suami berdering. Ibu yang menjaga di dalam mengabarkan bahwa si buah hati telah lahir. Senyum mengembang di bibir hitam si suami. Lantunan pujian keluar dari bibirnya.
Si suami diizinkan masuk ke ruangan. Dilihatnya sang istri terlentang dengan darah meliputi tubuh dan pembaringannya. Dan tepat di dada perempuan muda itu, tergolek tubuh mungil dengan tangisan keras.
Engkau telah hadir, Nan.

MGit, Aplikasi Pengelola Git di Android (Pengganti SGit)

Beberapa bulan lalu, saya pernah menulis tentang SGit, aplikasi pengelola Git di Android yang punya fitur dasar lengkap. Nah, Sgit ini telah dihentikan pengembangannya. Namun, tidak perlu khawatir, karena SGit dilanjutkan oleh aplikasi serupa dengan nama MGit.

penampakan SGit

Tampilan MGit tidak jauh beda dengan Sgit, sekilas saya tidak menemukan perbedaan menyolok. Hanya penempatan menu saja yang sedikit berbeda dengan SGit.

Mgit dapat dipasang melalui Playstore atau F-Droid.

Mencoba Fedora 24 Workstation

Fedora 24 baru saja diluncurkan
beberapa hari yang lalu. Versi ini selain membawa GNOME 3.20, juga membawa Flatpak
yang digadang-gadang sebagai pengelola paket yang dapat berjalan pada semua distribusi GNU/Linux.

Berhubung kemarin sempat mendapat tugas rapat di sebuah hotel dengan wifi supercepat (untuk ukuran
Indonesia), saya iseng mengunduh Fedora 24 Workstation dan mengorbankan
satu partisi untuk mencobanya.

Saya memang kurang familiar dengan Fedora, terutama dengan Anaconda yang merupakan program pemasang yang dipakai
Fedora (juga RHEL dan kloningnya). Sempat kesulitan dalam mengatur partisi, akhirnya saya temukan cara mudahnya:
menyediakan satu partisi kosong dan membiarkan Anaconda mengatur menggunakan LVM.

Sukses memilih partisi, pemasangan Fedora pun berjalan. Nah di sini muncul masalah abadi laptop saya: KEPANASAN
dan langsung mati. Duuh.

Berbeda dengan Ubuntu, Fedora tidak membawa thermald
dalam paket bawaannya. Bahkan thermald juga tidak tersedia di repository resminya. Padahal, tanpa
thermald, laptop saya pasti overheat saat melakukan kerja yang sedikit berat.

Untungnya ada repository tidak resmi yang menyediakan thermald untuk Fedora 24. Saya memakai repo milik slaykovsky. Caranya cukup unduh berkas
.repo-nya
kemudian letakkan di /etc/yum.repos.d/. Pasang thermald dengan perintah sudo dnf install thermal-daemon-(pencet tombol tab).

Setelah terpasang thermald, aktifkan dengan sudo systemctl enable thermald.service lalu sudo systemctl start thermald.service.
Selesai diaktifkan, pemasangan Fedora 24 berjalan lancar tanpa kepanasan.

Mencoba SGit di Android

Dari beberapa aplikasi pengelola Git yang saya lihat di Playstore Google, tampaknya baru SGit yang punya fasilitas push. Aplikasi lain umumnya hanya bisa untuk clone atau pull saja. Kebanyakan aplikasi malahan hanya dikhususkan untuk Github saja, bukan Git secara umum.

penampakan SGit

Selain fitur tersebut, SGit juga bisa mengimpor repository lokal. Ini sangat memudahkan pengguna,tinggal menyalin folder repository dari komputer ke ponsel, kemudian diimpor.

SGit juga dilengkapi dengan editor teks bawaan. Saya sendiri kurang nyaman dengan editor teks bawaan tersebut, sulit untuk memblok teks saat akan menghapus atau copy-paste.

Tulisan ini saya push ke Github menggunakan SGit. Hasilnya lancar. Saya belum mencoba semua fitur-fitur lainnya. Berhubung saya memang bukan programmer dan hanya menggunakan Github terutama untuk menyimpan blog, hanya fitur pull, add, commit, dan push saja yang saya perlukan.

Masalah Laptop Kepanasan Sudah Teratasi dengan Thermald

Ke mana saja saya selama ini ya? Baru tahu ada daemon khusus Intel untuk
mengatur temperatur prosesor. Namanya thermald (linux thermal daemon).

Selama ini saya manual saja menjaga laptop agar tidak panas. Tidak menjalankan aplikasi berat, menghindari kompilasi, sampai-sampai
tak berani memakai KDE karena Nepomuk-nya bisa membuat laptop mati karena kepanasan saat mengindeks.

Atau jangan-jangan saya dulu pernah tahu thermald, kemudian lupa. Soalnya dulu tidak pernah kena masalah panas saat memakai KDE di Slackware.

Thermald ini menjaga kinerja prosesor. Kalau prosesor terlalu kencang bekerja sampai mendekati panas, thermald akan menyuruh prosesor untuk alon-alon wae mas. Kalau sudah turun suhunya, baru digeber lagi. Demikian seterusnya.

Saya instal thermald dari slackbuilds, dan masalah kepanasan selesai sudah.