Semesta Video Pendek

Saat melihat tayangan di aplikasi video berdurasi pendek, kita harus menganggap fakta yang disampaikan adalah fakta dari alam semesta lain, bukan fakta dari alam semesta yang kita tempati ini.
Dengan berpikir seperti itu, kita tidak perlu heran jika melihat fakta-fakta yang kadang sama, kadang berbeda dengan fakta di alam semesta kita. Baik sama ataupun berbeda, fakta tersebut bukan dari alam semesta kita, sehingga tidak perlu dijadikan pertimbangan untuk mengambil keputusan apapun.

Menyerang vs Bertahan

Dalam debat antar-kepercayaan, menyerang lebih mudah daripada bertahan. Oleh karena dasar dari kepercayaan adalah ketidaktahuan yang kemudian muncul sebagai mengira-tahu, akan muncul banyak hal dalam kepercayaan itu yang sulit dibuktikan. Hal-hal yang sulit dibuktikan itu akan mudah diserang oleh lawan. Bertahan mengharuskan untuk membuktikan hal-hal yang sulit dibuktikan itu. Jadi, jika ada debat antar-kepercayaan, posisi bertahan hampir dipastikan selalu kalah.
Begitu juga ketika debat kepercayaan melawan ateis, posisi kepercayaan akan selalu berada sebagai pihak bertahan dan hampir dipastikan akan kalah.
Jika sebuah kepercayaan itu benar, akan selalu ada cara untuk membuktikan, walaupun kadang harus melewati cara berpikir yang rumit atau menggunakan kerangka berpikir lain yang berjenjang. Jika seseorang tidak siap dengan hal-hal tersebut, sebaiknya tidak usah turut campur dalam perdebatan.

Di Luar Kendali

Ketika mata pencaharian kita bergantung pada sistem yang berada di luar kendali kita, banyak pilihan pribadi yang harus dikorbankan untuk mengikuti kesepakatan sistem itu. Kita harus memakai standar mereka misalnya dalam berpakaian, dalam berkomputer, atau dalam menyampaikan gagasan.
Dalam kasus seperti itu, perlu dilakukan pembatasan ketat supaya tujuan pribadi kita masih tetap bisa berjalan. Misalnya: kita hanya takluk pada saat bekerja saja, sedangkan di luar itu ketaklukan kita pada sistem tidak perlu dibawa dalam kehidupan pribadi.
Kita juga bisa mengganti rugi tujuan pribadi kita yang terenggut dengan mengalokasikan uang hasil kita bekerja untuk menyokong aktivitas lain yang bertujuan memperbaiki sistem yang sudah ada itu. Meskipun hal itu tidak optimal, namun setidaknya kita bisa mengurangi rasa bersalah itu dengan melihat progres pada tujuan pribadi kita.

Negara Berkembang

– Negara berkembang penting karena mustahil semua manusia bisa tinggal di negara maju, bahkan kenyataannya sebagian besar manusia hidup di negara berkembang.
– Negara berkembanglah yang mengurusi sebagian besar orang miskin, sebab negara maju hanya mau menerima imigran kaya atau punya potensi kaya.
– Banyak negara berkembang dengan pendapatan rendah yang mampu menghidupi penduduk berlipat kali lebih banyak daripada negara maju yang berpendapatan tinggi.

Years of Downfall

(I know my English is poor, but I don’t really care, I will write this entry in English to test my ability.)
It began at 2002, the downfall of me. I was a bright student during my elementary and junior high school years. That was my reason for taking accelerated class in my high school. But everything didn’t go as smooth as I imagined. I became more and more lazy. I was the last rank student in my class. I was graduated from high school with minimum scores on some subjects.
It wasn’t all bad actually. I’ve been able to pass university admission test and I was enrolled in one of the best university in Indonesia: Universitas Gadjah Mada. The first three of my collage years were not bad.
The forth year was the beginning of my new downfall. I don’t know what the reasons of my poor behavior, I started to postponed my tasks, became much much more lazier than before. I spent twice of normal study years to finish my degree.
But once again, I got new opportunity to have a better life. After I graduated from college, I didn’t have to wait too long to got a job. It is a dream job for many Indonesian: working as a civil servant, it’s the Indonesian version of American dream. I moved to Surabaya to work that job.
One year after that, I began to behave so poorly. I feel too ashamed to tell you what I’ve been done back then. I’ve been diagnosed with bipolar disorder and had to take medicines. I cannot live alone, so I lived with my mother for several months until I got married. So the story goes on, I was married, had my own small family, but my poor behavior doesn’t stop. I went through up and down, very unstable.
Long story short, right now I’m not in my best condition. I want to back to the track, but I’m afraid I cannot perform as good as I should be. But I don’t want to be like this forever. I need money to raise my kids properly, but I’m too ashamed of my past behavior.
I don’t know what to do.

Membaca Ulang Dragon Ball

Sepekan terakhir, aku membaca ulang komik Dragon Ball, mulai dari volume 1 ketika Bulma pertama kali bertemu Son Goku sampai dengan volume 42 ketika Majin Buu berhasil dikalahkan dan bumi berada pada masa damai.
Awalnya karena aku bermain game Dragon Ball Advance Advanture menggunakan emulator di ponsel. Jalan cerita game itu membuatku penasaran dengan urutan cerita awal Dragon Ball. Aku memutuskan untuk membaca ulang komiknya. Rencananya, aku hanya ingin membaca sampai dengan akhir saga Pikolo (pra-Dragon Ball Z kalau di anime), tapi ternyata keterusan sampai dengan akhir komik aslinya.
Bisa dibilang, ini pertama kali aku memahami cerita Dragon Ball secara utuh. Waktu kecil, aku berhenti menonton anime Dragon Ball yang tayang di Indosiar ketika aku sudah masuk SMP. Kalau tak salah waktu itu baru sampai saga Planet Namek. Beberapa tahun lalu aku pernah membaca keseluruhan 42 volume komik itu, namun waktu itu banyak halaman yang aku lewati untuk mempercepat pembacaan. Kali ini, hampir tidak ada halaman yang terlewat.
Ada beberapa hal yang baru kusadari setelah membaca secara keseluruhan komik ini. Pertama, aku baru sadar kalau Cell bukan alien. Tampaknya ingatanku tentang Cell tercampur dengan ingatanku tentang Frieza. Kedua, aku baru menyadari bahwa saga Majin Buu ternyata banyak komedinya seperti era-era awal Dragon Ball.
Ada satu hal yang membuatku senang saat selesai membaca keseluruhan komik ini. Waktu kecil, aku menganggap Son Goku adalah pahlawan. Dia mengalahkan orang-orang jahat dan menyelamatkan bumi. Ketika pertama kali aku membaca secara cepat keseluruhan komik ini beberapa tahun lalu, impresiku tentang Son Goku berubah. Aku tidak lagi bisa menganggapnya pahlawan, dia hanya senang bertarung saja dan tertantang mengalahkan yang lebih kuat. Tetapi sekarang, setelah aku membaca dengan detail, impresiku tentang kepahlawanan Son Goku kembali lagi. Betul bahwa motivasi terbesarnya adalah ingin mengalahkan yang lebih kuat dan bukan untuk meyelamatkan dunia, tapi di sisi lain, dia juga bertarung untuk melindungi keluarga dan teman-teman terdekatnya. Pada usiaku sekarang, kepahlawanan seseorang untuk melindungi orang-orang terdekat itu lebih nyambung dengan kehidupanku daripada kepahlawanan seseorang yang ingin menyelamatkan dunia.
Selain sisi menyenangkan itu, ada sisi gelap yang baru sekarang membuatku tak nyaman. Itu adalah perilaku Muten Roshi. Dulu, aku menganggap perilakunya yang mesum itu hanya lucu-lucuan saja. Tapi setelah membaca secara rinci, ternyata Muten Roshi melakukan beberapa tindakan yang kalau dilihat dengan standar saat ini adalah kejahatan seksual. Beberapa kali dia menyentuh bagian tubuh Bulma atau perempuan lain tanpa persetujuan dari si perempuan. Kalau hanya kebiasaan Muten Roshi yang suka melihat pornografi, itu masih bisa dianggap sebagai lucu-lucuan. Namun, menyentuh tanpa persetujuan bukan lagi hal yang lucu. Dalam kehidupan nyata, perbuatan itu bisa menyakitkan korbannya bahkan hingga trauma. Mungkin kita sedikit bisa memaklumi bahwa Dragon Ball adalah produk sebuah era dan kebudayaan yang berbeda dengan kondisi sekarang, namun itu tetap tidak bisa membenarkan masuknya materi-materi seperti itu sebagai sebuah lelucon. Sebagai orang yang sangat menyukai Dragon Ball, aku berharap materi-materi baru Dragon Ball lebih peka dengan hal-hal seperti 

Jika Aku Mati

Aku tak yakin bakal ada lebih dari 10 orang yang menangis kalau aku mati. Paling hanya 5-6 orang saja.

Yang melayat tentu banyak. Sepulang melayat, sebagian mereka akan mampir di tempat makan yang enak dan mengusir kebosanan di perjalanan dengan bernyanyi-nyanyi.
Hari-hari setelahnya, namaku akan dijadikan guyonan sebagai hantu yang menghuni sebuah ruangan terpencil dan mengganggu mereka yang terlambat pulang.

Just Another “Postingan Sambat”

Fren, sulit sekali diriku bangkit lagi. Rasanya kepercayaan diriku tinggal seujung kuku saja.
Aku datang ke tempat kerja dan melihat pekerjaanku yang belum juga selesai. Ingin sekali aku lembur, kerja saat tak ada orang lain agar aku bisa segera merampungkan tugas-tugasku. Tiap kali ada orang lain, rasanya mereka seperti menghakimi, tatapan mereka seakan bilang, “belum selesai juga kerjaan itu?”.
Kalau ingin mengerjakan di rumah, selalu saja ada hal lain yang membuatku tak bisa duduk diam di depan komputer. Banyak tugas rumah tangga yang harus kukerjakan.
Mungkin, ini waktunya bersikap “bodo amat” seperti kata buku motivasi yang laris itu. Bodo amat orang bilang apa, yang penting kerjaan selesai. Tapi sayangnya, itu tak mudah. Aku benar-benar tak punya daya untuk melakukan itu.
Aku harus mengembalikan kepercayaan diriku secepat mungkin. Jika begini terus, aku bisa kena hukuman lagi.

Titik Terendah, Lagi

Sangat sulit menjaga semangat. Sedikit lengah menjaga waktu tidur, hancur sudah semangat itu. Sedikit ada rasa kecewa, rasa bersalah, atau rasa takut, lenyaplah semangat itu. Ini tentu tidak terjadi pada setiap orang, hanya pada orang-orang yang punya “kelemahan” tertentu. Aku salah satu orang yang seperti itu.
Aku sedang mengalaminya, lagi. Ini berulang. Semangat lenyap, sesuatu yang menyenangkan datang, semangat timbul lagi, lalu sesuatu yang menyebalkan datang, dan semangat itu pergi. Terus seperti itu.
Kadang aku berpikir, jangan-jangan aku memang pemalas. Tetapi, kalau kuingat bagaimana produktifnya diriku saat semangat itu ada, juga mengingat capaian-capaian yang pernah kudapatkan, aku tidak begitu yakin bahwa aku pemalas.
Tetapi, orang-orang yang tidak mengalami apa yang kualami tampaknya tak bisa memahami apa yang terjadi padaku. Mereka menginginkan aku bisa seperti mereka.
Aku pun sebenarnya ingin seperti mereka, sungguh sangat ingin. Kalian mungkin tahu, aku bahkan pernah berobat cukup lama untuk menghilangkan “kelemahan”-ku ini. Aku menghentikan pengobatan itu karena ada dampak yang membuatku tersiksa. Jadi, aku hanya bertahan dengan caraku sendiri. Berjuang sendiri untuk mengembalikan semangat itu.
Perjuangan untuk kembali bersemangat itu tak mudah. Setiap semangat hilang, kinerjaku menurun, akibatnya aku mendapatkan hukuman. Hukuman membawa rasa malu dan rasa bersalah, sesuatu yang membuat semangat makin hilang. Perjuangan menuju semangat menjadi berlipat ganda beratnya.
Kadang-kadang, aku ingin mengakhiri saja semua itu. Pergi jauh, sejauh-jauhnya, ke Pulau Sumatera, ke Planet Mars, atau bahkan ke alam kubur, itu yang ingin kulakukan. Tetapi, aku tak berani melakukannya. Ada orang tua yang akan menangis sampai sakit, ada anak dan istri yang akan hancur hidupnya, jika aku melakukan itu.
Belakangan, aku belajar untuk menerima semua itu. Hukuman kujalani saja. Rasa malu kutahan. Olok-olok kutanggapi dengan gurauan. Di depan banyak orang, aku tampak seperti orang yang tak punya rasa bersalah. Di belakang, aku menangis sendirian.
Aku tak mungkin berharap orang mau menerima “kelemahan”-ku ini. Sistem di tempatku bekerja tidak menerima alasan-alasan seperti ini. Dan sayangnya, aku terlanjur membangun rumah tangga yang mau tak mau memaksaku harus menghasilkan uang cukup, sesuatu yang saat ini hanya bisa kudapatkan di tempatku bekerja sekarang.
Ya sudah. Waktunya menangis, ya menangis. Nanti juga datang waktunya tertawa. Hal terbaik yang bisa kulakukan saat ini hanyalah bertahan untuk tetap hidup, sepedih apapun tangisanku.