Menolak DNS Nasional

Apa saja buah Reformasi 1998 yang bisa kita rasakan sampai sekarang? Penyelenggaraan negara yang bersih? Rasanya tidak! Korupsi masih mengurat dan mengakar. Kemajuan ekonomi? Mungkin iya, namun belum benar-benar warga negara ini lepas dari jerat kemiskinan. Kebebasan berpendapat? Saya kira iya, inilah salah satu buah reformasi yang bemar-benar bisa kita rasakan saat ini.
Bandingkan dengan era orde baru. Anak negeri yang kritis dan vokal pada pemerintah orde baru terancam diculik atau bahkan kehilangan nyawanya. Etnis minoritas dilarang menampilkan identitas kesukuan warisan nenek moyang mereka.
Hari ini kita bisa menikmati kebebasan itu tanpa banyak rasa takut. Saya berani menulis di blog. Para oposisi terang-terangan mengkritik Pemerintah tanpa ada rasa takut. Semua itu adalah buah Reformasi 1998 yang benar-benar bisa dinikmati.
Sayang sekali, atas nama “memelihara moral anak bangsa” pemerintah memaksakan sarana sensor internet dengan nama Trust+Positif. Sensor yang diberlakukan sejak era pemerintahan sebelumnya ini, sekarang akan ditingkatkan dengan mewajibkan penyelenggara jaringan internet untuk mengarahkan pengguna mengakses internet melalui DNS Trust+Positif.
Seperti dilansir oleh Detik dan DailySocial, Menkominfo mengirim surat kepada para direktur penyelenggara jaringan internet untuk men-sinkron-kan akses internet mereka dengan DNS Trust+Positif yang ditetapkan sebagai DNS nasional. Tenggat waktu yang diberikan sampai dengan 31 Mei 2015.
Mengapa penerapan DNS nasional ini berbahaya bagi kebebasan? Dengan adanya pemaksaan ini, semua lalu lintas internet harus melewati filter yang dibuat pemerintah. Pemerintah punya kontrol penuh, website mana yang boleh dan tidak boleh diakses.
Pelaksanaan Trust+Positif yang selama ini sudah berjalan menunjukkan, pemerintah bisa “seenak hatinya” memblokir website. Kejadian yang banyak dikeluhkan misalnya pemblokiran Vimeo dan Reddit, yang bagi sebagian penggunanya adalah sarana untuk mengakses pengetahuan. Pemaksaan sensor ini akan memberi kuasa bagai pemerintah untuk membungkam siapa saja yang tidak diinginkan oleh pemerintah.
Anggap suatu saat ada website yang bisa membongkar skandal korupsi yang ditutup-tutupi. Dengan kekuatan sensor ini, pemerintah bisa mengekang mereka untuk menyebarkan informasi melalui internet.
Dari sisi pelaksanaan sensor ini, terlihat pemerintah berangsur-angsur meningkatkan kekuatan sensornya. Dulu hanya daftar website yang harus diblokir saja yang diwajibkan untuk diterapkan penyelenggara jaringan. Saat ini sudah ditingkatkan menjadi pewajiban DNS nasional, konon karena ada operator yang “bocor” atau tidak menerapkan daftar blokir seperti yang diinginkan Kominfo.
Dari kecenderungan di atas, jika kelak DNS naional bisa ditembus, tampaknya pemerintah akan mencari cara lagi untuk makin memperketat sensornya. Bisa jadi, kebebasan informasi di negeri ini akan seburuk Cina!

Politik “Ribet” ala Golput Idealis, Sebuah Tanggung Jawab terhadap Demokrasi (Bagian 1: Melaksanakan Pendidikan Politik)

Prolog:

Pembiaran! Itulah tuduhan yang sering diberikan pada mereka yang tidak memilih dalam pemilu. Bagi golput idealis, tuduhan ini sangat menyesakkan dada. Anggapan bahwa golput selalu berarti “tidak mau tahu nasib negara” sebenarnya bertolak belakang dengan keadaan sebenarnya. Banyak golput yang dalam siang malamnya lebih banyak memikirkan keadaan negara ini dibandingkan mereka yang sekedar memilih dalam pemilu.

Rangkaian tulisan jelek ini, anggap saja sebagai pembelaan diri dari seorang golput idealis yang merasa “terzalimi” oleh tuduhan tersebut. Tulisan akan terbagi menjadi 3 bagian:

1. Melaksanakan Pendidikan Politik
2. Berpolitik di Luar Parlemen
3. Menuju Terwujudnya Partai Politik Idaman

Bagian 1: Melaksanakan Pendidikan Politik

Kenyataan yang aku lihat di kampungku, masyarakat memilih seorang calon bukan karena mengetahui program kerja partai maupun visi dari caleg. Pilihan biasanya dijatuhkan pada calon yang paling banyak mengenalkan diri melalui “bantuan sosial” pada warga. Ini terjadi bukan hanya di pemilu 2014. Pemilu 2009 serta beberapa kali pemilihan Bupati juga menunjukkan adanya kecenderungan ini.

Praktik ini memang abu-abu, apakah bisa dikategorikan politik uang atau bukan. Uang yang masuk umumnya tidak dibagi langsung ke warga, namun menjadi milik kolektif, entah masuk ke kas RT, atau berwujud pembangunan fisik berupa fasilitas umum. Anggapan yang beredar adalah, inilah bentuk nyata sumbangsih caleg ke warga. Nyata karena memang benar-benar nampak dan dirasakan, bukan janji-janji semata. Barangkali aku terlalu menggeneralisir, namun nyatanya BBC melaporkan kasus serupa juga terjadi di banyak pedesaan. Kawan-kawanku yang tinggal di pedesan juga banyak menceritakan kejadian yang sama.

Undang-undang Republik Indonesia  Nomor 2 Tahun 2011  tentang Partai Politik secara jelas menyebutkan bahwa Partai Politik yang mempunya wakil di parlemen, mempunyai hak menerima dana dari APBN yang diprioritaskan untuk melaksanakan pendidikan politik  bagi anggota partai dan masyarakat.  Fakta yang nampak aku lihat partai politik hanya muncul menjelang pemilu. Itupun melalui persaingan para calegnya untuk memperoleh suara, bukan mendidik masyarakat untuk sadar dan mengerti politik dan sistem kenegaraan.

Tugas yang terabaikan oleh partai inilah yang selayaknya diisi oleh golput idealis. Ada minimal tiga hal yang bisa dilakukan. Yang pertama adalah melakukan penyebaran informasi ke masyarakat tentang politik dan sistem kenegaraan kita. Yang kedua adalah mendorong partai politik yang ada untuk bertanggung jawab terhadap tugas mereka untuk melakukan pendidikan politik. Yang ketiga adalah mendorong pembentukan partai politik ideal seperti yang diidamkan.

Dalam bagian ini, aku hanya mengutarakan tugas yang pertama, yaitu penyebaran informasi. Untuk tugas kedua dan ketiga, aku rasa lebih tepat untuk digabungkan dengan tulisanku yang selanjutnya.

Peran golput idealis dalam menyebarkan informasi ke masyarakat dalam era internet ini bukanlah hal muluk dan susah. Tulisan ini pun sudah menjadi bagian dari pelaksanan peran ini. Anda tidak mengajak orang untuk golput, Anda mengajaknya untuk sadar tentang apa akibat dari setiap pilihan yang dia ambil. Obrolan kecil di angkringan, diskusi di serambi masjid, canda sewaktu bermain gaple, semuanya bisa menjadi wahana untuk mempengaruhi kesadaran orang sekitar kita tentang politik.

Sekali lagi aku menggarisbawahi tujuan dari penyebaran informasi adalah untuk membawa masyarakat pada kesadaran tentang akibat dari setiap pilihannya. Jangan pernah menyetir pilihan mereka. Seperti kata bijak, beri kail bukan ikan, beri sabit bukan rumput. Saat mereka telah mampu menentukan pilihannya dengan sadar, saat itulah kita golput idealis tersenyum menikmati “kemenangan putih” ini.

Suara Hati Seorang Semi-Golput

Dua belas jam menjelang pemilu
legislatif, aku sudah memantabkan tekad untuk tidak memilih calon
legislatif tingkat DPR RI dan DPRD Provinsi. Untuk DPRD Kabupaten dan
DPD aku sudah menetapkan pilihan dan akan memberikan suara untuk
kandidat yang aku pilih.

Alasan utamaku untuk tidak memilih
adalah tidak adanya partai yang sepenuhnya mewadahi aspirasi dan
ideologi yang aku percayai. Aspirasi yang kumaksudkan adalah
harapanku akan jalannya negara dalam 5 tahun ke depan, sedangkan
ideologi adalah seperangkat pandangan politik yang aku percayai mampu
membawa pada bentuk kemakmuran ideal. Pada tingkat pusat, aku hanya
mau memilih partai yang mewadahi keduanya: aspirasiku dan ideologiku.
Cukuplah aku sebutkan, bahwa itu adalah pilihan politikku, mengenai
alasannya, lain kali mungkin akan aku tulis terpisah.
Sejatinya ada beberapa partai dengan
pandangan yang hampir bersesuaian dengan aku percaya, namun membawa
agenda yang bertentangan dengan aspirasiku. Ada pula partai dengan
rancangan yang mengagumkanku, namun perilaku mereka di lapangan
sangat bertentangan dengan pandangan politik yang aku percayai.
Kesimpulanku, partai manapun yang menang tidak akan ada bedanya untuk
aku, mereka tidak mewakiliku sepenuhnya.
Himbauan untuk melihat caleg tanpa
melihat partai sempat aku pertimbangkan. Namun pada akhirnya aku
berkesimpulant, caleg tidak mungkin lepas dari pengaruh partai. Jadi
sebaik apapun dia, kalau partainya tidak mewakili aspirasi dan
pandangan politikku, maka tiada beda dia dengan caleg lain.
Kekhawatiran bahwa, apabila tidak
memilih, akan menguntungkan caleg korup, bagiku tidak beralasan.
Lolosnya caleg korup adalah kesalahan pemilihnya, bukan kesalahan
yang tidak memilih. Bila ditarik lebih jauh, majunya caleg korup
adalah karena kegagalan partai politik dalam memilih
kandidat-kandidatnya. Apakah kesalahan ini hendak dilemparkan ke para
golput? Salah tembak rasanya.
Mengenai DPRD Kabupaten dan Provinsi,
tidak terlalu signifikan bagiku untuk bersikukuh pada pandangan
politik. Cukuplah asal aspirasiku terwakili. Produk hukum daerah
adalah derivasi dari produk hukum tingkat nasional. Maka dinamika
ideologi di tingkat daerah bagiku tidak mendesak sebab tergantung
pada apa yang terjadi di tingkat nasional. Cukup dengan hanya melihat
caleg saja, tanpa perlu melihat partai.
Lalu mengapa untuk tingkat Provinsi aku
juga tidak memilih? Terus terang, untuk tingkat Provinsi aku tidak
sempat menelusuri para kandidat.
Prinsipku: kalau tidak tahu, maka diam saja! Melepaskan hak memilih,
adalah tindakan bertanggung jawab bagi yang gagal mencari informasi
politik. Aku tidak mau memilih
ngawur.
Bagiku itu sama sekali tidak bijak.
Untuk
DPD, tidak ada pengaruh partai. Kualitas kandidat saja yang
menentukan. Aku telah punya pilihan yang menurutku bisa mewakili
provinsiku dengan baik.
Apakah
selamanya aku tidak akan memilih? Apakah aku hanya berpangku tangan
menunggu datangnya partai yang sesuai? Apakah aku siap dengan segala
konsekuensi dari “tidak memilih” ini? Itu akan aku tulis pada
bagian selanjutnya:
Politik Ribet Ala Golput, Sebuah
Tanggung Jawab terhadap Demokrasi
Pamungkas
dari tulisan ini, aku berpendapat, d
emokrasi
bukan
sekedar pemerintahan yang dipilih oleh rakyat. Demokrasi dibangun
dari kebebasan. Kebebasan mengemukakan dan melaksanakan sebuah
gagasan. Kebebasan untuk memilih apa yang benar-benar sesuai dengan
keinginan. Dan ketika pilihan yang dirasa tepat itu tidak ada, maka
“tidak memilih” adalah juga bagian dari kebebasan
tersebut.
Sembari merayakan kembalinya
domainku, ariswanto.web.id, yang sudah beberapa minggu off karena
belum diperpanjang kontraknya.

Grav-mass Season…

Tanggal 25 Desember kita memperingati lahirnya Sir Isaac Newton sekaligus merayakan penemuan-penemuannya antara lain Hukum Gravitasi.

http://stallman.org/grav-mass.html

Ganti distro lagi: dari Slackware 14 ke Trisquel 6

Setelah beberapa bulan cukup nyaman dengan Slackware 14, kemarin malam aku putuskan untuk pindah ke distro lain. Sebenarnya aku tak ada masalah dengan Slackware 14, namun gara-gara instal dropline-gnome yang setengah-setengah, beberapa library jadi agak kacau.
Aku pikir-pikir daripada memperbaiki instalasi dengan mendowload paket-paket Slackware 14, lebih baik aku instal ulang saja, sekalian ganti suasana. Sempat terpikir untuk menginstal Slakware terbaru (14.1), namun karena file iso-nya cukup besar (versi DVD lebih dari 2GB) sepertinya akan memakan waktu lama, dan emmm… boros kuota juga.
Selain itu, karena sedang ingin belajar software itung duit GnuCash (yang di Slackware harus build dari source), sepertinya lebih baik pindah distro lain yang lebih manusiawi.. :-D. 
Kebetulan di hard disk sudah ada 2 iso, satunya Trisquel 6, dan satunya lagi Zorin OS, hasil download dari grup facebook (dulu waktu AON masih bisa diajak kerjasama…). Keduanya sama-sama turunan Ubuntu, jadi tak jauh beda.
Pilihan jatuh ke Trisquel (baca: Triskel) dengan pertimbangan:
  • Trisquel lebih istimewa karena 100% libre dan sudah diberkati oleh Mbah Stallman, hehe. Semua hardwareku tak perlu driver non-libre, jadi gak akan ada masalah.
  • Pengen pindah ke 64 bit, kebetulan iso Trisquelnya versi 64 juga. Alasan milih 64bit: kalau pas main-main virtualbox, 32bit tidak bisa jalankan virtual 64bit, tapi 64bit bisa jalankan virtual 32bit.
Ya sudah, tanpa babibu, langsung iso Trisquel dibakar ke flashdisk memakai Unetbootin.  tancap. setting bios, reboot. Masuk instalasi dst dll. Format partisi untuk /. Proses instal tak sampai 15 menit. Restart dan…. jreng… jreng…. Trisquel 6 dengan gnome classic (tampilan defaultnya).
Oke.. ritual selanjutnya sebagaimana distro berbasis deb lain adalah: 
sudo apt-get update && sudo apt-get upgrade

Selanjutnya, karena pengen tampilan Gnome Shell (bukan classic), jadi saya instal paket minimalnya:

sudo apt-get install gnome-session gnome-shell

Logout, lalu masuk lagi dengan pilih gnome. Ganti-ganti wallpaper. Tweak-tweak sedikit dengan extension. Hasilnya….

Semua hardware jalan dengan baik. Performa oke, tidak nge-lag atau lambat. Beberapa catatan aja:
  • Browser  bawaan Trisquel adalah “a browser” alias browser tanpa nama. Sebenarnya ini Firefox yang dikostumisasi. Setelah diupgrade, versinya jadi 25, sama seperti Firefox.
  • Karena 100% libre, jadi jangan harap ada adobe flash. Sebagai gantinya telah terinstal gnash. Aku coba buka Youtube, jalan, tapi sedikit gak mulus.
  • Libreoffice bawaan, versi 3.X.X. Aku uninstal dan instal versi terbaru (4.1) dari libreoffice.org (pilih versi deb).
  • Software lain sama seperti yang ada di Ubuntu 12.04 LTS, Trisquel 6 juga kompatibel dengan repo Ubuntu 12.04 LTS. Bedanya di Trisquel tak ada software  non-libre.
  • Trisquel 6 akan disupport sampai tahun 2017, sama seperti Ubuntu 12.04 LTS.
  • Mulai versi 6 ini, Trisquel hanya merilis versi LTS saja, tidak lagi 6 bulanan.

Agenda November – Desember

November ini masih tetep semangat jadi barisan pencari kerja. Masih ada beberapa batch dari proses lamaran bulan-bulan sebelumnya. November tersisa ini masih ada harapan buat CPNS, karena masih ada 1 lowongan yang daya ikuti, yang belum ujian.

Desember saya jadikan batas akhir periode tak jelas ini. Harapan sih di bulan Desember sudah berstatus sebagai pekerja, bukan lagi pengangguran. Saya batasi diri sampai 31 Desember 2013, kalau memang belum ada yang menerima saya, mulai 1 Januari 2014, saya akan fokus jualan saja.

Mohon maaf kalau ada yang kecewa dengan keputusan pribadi ini. Terus terang, dana dan energi saya untuk cari kerja juga semakin menipis. Bukannya menyerah ya, tapi siapa yang mau mendanai kalau saya tidak jualan? Umur sudah 27, malu disubsidi ortu terus-terusan.

Harapan sih semoga Desember sudah ada yang mau nerima, jadi semua pihak senang dan gembira.

Terapi 29 Hari

Yang aku lawan selama 29 hari ke depan, adalah sisi jahatku sendiri, terutama 3M: malas, marah, dan mesum. Segala jahatku bermula dari itu. Akan kupangkas dengan terapi ilahi bernama Ramadan.

Aku anggap ini kesempatan terakhirku. Kalau kali ini gagal, habislah masa depanku. Berulangkali sudah aku terapi, tapi tak berhasil.

Aku yakin Ramadan ini pasti berhasil. Mohon bantuan kalian semua.

Pengangguran…

Yang nanya saya sekarang sibuk apa, saya jawab bahwa saya lagi sibuk menganggur :D.
Selain berburu kerjaan, juga lanjutin iseng2 jualan. Lumayanlah daripada bengong.
Saking menganggurnya sampai banyak hal2 yang saya kerjakan sampai2 jadi sibuk..
Saya malah jadi bingung, sebenarnya saya ini nganggur atau sibuk sih?

Hobi Star Wars Tak Harus Mahal

Agak disayangkan, komunitas Star Wars di Indonesia lebih berfokus pada sisi “mahal” dari Star Wars.
Urban Jedi Bandung, misalnya, lebih fokus pada koreografi lightsaber yang harga alatnya cukup mahal, bisa mencapai Rp 3 Juta. 
Order 66 Indonesia, anggotanya kebanyakan juga lebih senang dengan cosplay dan koleksi mainan. Ini juga harganya tidak murah.
Terus bagaimana nasib fans Star Wars yang tak terlalu banyak uang seperti saya? Jangan cemas, masih banyak area lain yang tidak butuh banyak dana, namun tetap bisa memperlihatkan sisi ke-geek-an kita. 
Berikut ini beberapa saja contonnya, masih banyak hal lain yang bisa dieksplor.
BIKIN GAMBAR
Bagi yang jago menggambar, atau yang baru latihan menggambar, bisa membuat karya grafis tentang Star Wars. Cek aja di DevianArt, banyak gambar-gambar keren buatan para fans.
Tak butuh banyak dana. Tak bisa mengambar pakai komputer, bisa saja menggambar tangan. Di DevianArt itu juga banyak yang gambaran manual, bukan dengan komputer.
FAN FICTION
Yang imajinasinya liar seperti saya (hehe..) bisa membuat cerita Star Wars buatan sendiri. Jangan mau kalah sama trekker indonesia yang sudah punya proyek fans fic :p.

Yang berbahsa Inggris sih sudah banyak bikin fanfic Star Wars. Tapi di Indonesia masih sangat jarang.

DOKUMENTASI

Artikel Star Wars Bahasa Indonesia di Wikipedia masih bolong-bolong. Kalau bukan fans Star Wars, siapa dong yang harus mengisi?

KERAJINAN TANGAN DAN DIY


Kostum dan mainan tak harus beli kan? Bikin sendiri yang kreatif, dengan bahan-bahan yang ada di sekitar kita.

Nih contoh yang tak terlalu rumit, tapi cukup keren, sumber dari blog resmi Star Wars.


 Bener kan? Hobi star wars tak harus mahal!