Suara Hati Seorang Semi Golput
Dua belas jam menjelang pemilu legislatif, aku sudah memantabkan tekad untuk tidak memilih calon legislatif tingkat DPR RI dan DPRD Provinsi. Untuk DPRD Kabupaten dan DPD aku sudah menetapkan pilihan dan akan memberikan suara untuk kandidat yang aku pilih.
Alasan utamaku untuk tidak memilih adalah tidak adanya partai yang sepenuhnya mewadahi aspirasi dan ideologi yang aku percayai. Aspirasi yang kumaksudkan adalah harapanku akan jalannya negara dalam 5 tahun ke depan, sedangkan ideologi adalah seperangkat pandangan politik yang aku percayai mampu membawa pada bentuk kemakmuran ideal. Pada tingkat pusat, aku hanya mau memilih partai yang mewadahi keduanya: aspirasiku dan ideologiku. Cukuplah aku sebutkan, bahwa itu adalah pilihan politikku, mengenai alasannya, lain kali mungkin akan aku tulis terpisah.
Sejatinya ada beberapa partai dengan pandangan yang hampir bersesuaian dengan aku percaya, namun membawa agenda yang bertentangan dengan aspirasiku. Ada pula partai dengan rancangan yang mengagumkanku, namun perilaku mereka di lapangan sangat bertentangan dengan pandangan politik yang aku percayai. Kesimpulanku, partai manapun yang menang tidak akan ada bedanya untuk aku, mereka tidak mewakiliku sepenuhnya.
Himbauan untuk melihat caleg tanpa melihat partai sempat aku pertimbangkan. Namun pada akhirnya aku berkesimpulant, caleg tidak mungkin lepas dari pengaruh partai. Jadi sebaik apapun dia, kalau partainya tidak mewakili aspirasi dan pandangan politikku, maka tiada beda dia dengan caleg lain.
Kekhawatiran bahwa, apabila tidak memilih, akan menguntungkan caleg korup, bagiku tidak beralasan. Lolosnya caleg korup adalah kesalahan pemilihnya, bukan kesalahan yang tidak memilih. Bila ditarik lebih jauh, majunya caleg korup adalah karena kegagalan partai politik dalam memilih kandidat-kandidatnya. Apakah kesalahan ini hendak dilemparkan ke para golput? Salah tembak rasanya.
Mengenai DPRD Kabupaten dan Provinsi, tidak terlalu signifikan bagiku untuk bersikukuh pada pandangan politik. Cukuplah asal aspirasiku terwakili. Produk hukum daerah adalah derivasi dari produk hukum tingkat nasional. Maka dinamika ideologi di tingkat daerah bagiku tidak mendesak sebab tergantung pada apa yang terjadi di tingkat nasional. Cukup dengan hanya melihat caleg saja, tanpa perlu melihat partai.
Lalu mengapa untuk tingkat Provinsi aku juga tidak memilih? Terus terang, untuk tingkat Provinsi aku tidak sempat menelusuri para kandidat. Prinsipku: kalau tidak tahu, maka diam saja! Melepaskan hak memilih, adalah tindakan bertanggung jawab bagi yang gagal mencari informasi politik. Aku tidak mau memilih ngawur. Bagiku itu sama sekali tidak bijak.
Untuk DPD, tidak ada pengaruh partai. Kualitas kandidat saja yang menentukan. Aku telah punya pilihan yang menurutku bisa mewakili provinsiku dengan baik.
Apakah selamanya aku tidak akan memilih? Apakah aku hanya berpangku tangan menunggu datangnya partai yang sesuai? Apakah aku siap dengan segala konsekuensi dari “tidak memilih” ini? Itu akan aku tulis pada bagian selanjutnya: Politik Ribet Ala Golput, Sebuah Tanggung Jawab terhadap Demokrasi
Pamungkas dari tulisan ini, aku berpendapat, demokrasi bukan sekedar pemerintahan yang dipilih oleh rakyat. Demokrasi dibangun dari kebebasan. Kebebasan mengemukakan dan melaksanakan sebuah gagasan. Kebebasan untuk memilih apa yang benar-benar sesuai dengan keinginan. Dan ketika pilihan yang dirasa tepat itu tidak ada, maka “tidak memilih” adalah juga bagian dari kebebasan tersebut.
Sembari merayakan kembalinya domainku, ariswanto.web.id, yang sudah beberapa minggu off karena belum diperpanjang kontraknya.